Eksplorasi Tanpa Definisi | Runtahgila

Menderu Malam Mendung

Dunia telah menyerah pada gelap. Lampu-lampu kota redup, seakan tahu diri bahwa malam memiliki panggungnya sendiri.

Langit berawan dengan bulan sabit

Dunia telah menyerah pada gelap. Lampu-lampu kota redup, seakan tahu diri bahwa malam memiliki panggungnya sendiri. Sebuah tempat di tepi ranjang kayu yang telah menua bersama sejarah keluarga menjadi saksi. Di luar, udara mendesir lembut, membawa aroma basah tanah yang mengisyaratkan hujan. Pandangan tertuju pada langit mendung yang menyembunyikan bintang, namun tidak bisa membungkam suara malam.

Di sudut halaman, jangkrik berorasi tanpa henti. Suara mereka beradu, membentuk irama tak terencana, seperti debat tanpa moderator. Sebuah kodok tua dari arah kolam turut bergabung, memecahkan ritme dengan bariton seraknya. Burung hantu menimpali dari kejauhan; suaranya tegas, seolah memanggil roh yang pernah menghuni bumi. Semua ini membentuk simfoni liar, sebuah harmoni yang tak peduli pada estetika manusia. Pengamatan tanpa undangan hanya dapat memetik pelajaran dari setiap nada malam itu.

Langit gelap seperti kanvas kosong yang tak pernah selesai dilukis. Sesekali kilat menyambar, menorehkan cahaya singkat yang segera lenyap, meninggalkan jejak bayangan di retina. Mendung itu seperti tirai yang enggan terbuka, membiarkan rahasia langit tetap tersembunyi. Namun justru di situlah letak keindahannya. Dalam ketidaksempurnaan itu, ketenangan ditemukan.

Waktu terasa melar. Detik berjalan perlahan seperti enggan melangkah menuju pagi. Dalam hening ini, pikiran mulai bermain-main. Masa kecil kembali teringat, saat suara jangkrik dan kodok menjadi teman akrab yang menemani malam di desa. Mereka bukan sekadar bunyi, melainkan isyarat alam yang berbicara pada mereka yang mau mendengar. Kala itu, malam tidak pernah sepi; ia selalu penuh cerita yang disampaikan oleh makhluk-makhluk kecil yang hidup tanpa ekspektasi.

Namun kini, di bawah mendung, ada perasaan seperti tamu asing di rumah sendiri. Bukan karena suara malam berubah, tetapi karena pendengarnya yang berubah. Kota, dengan segala hiruk-pikuknya, telah mencuri pendengaran dari nyanyian malam. Kebisingan kendaraan, obrolan manusia, dan dering notifikasi telah membentuk dinding yang memisahkan dari harmoni alami. Di tengah keheningan yang ramai ini, rasa keterasingan muncul.

Burung hantu kembali bersuara, kali ini lebih dekat. Ia seperti menyadarkan bahwa kesendirian tak sepenuhnya benar. Suaranya membawa aroma mistis, sebuah peringatan bahwa malam tidak hanya milik manusia. Dalam gelap, dunia lain hidup. Ada ratusan, bahkan ribuan makhluk yang bergerak, berburu, atau sekadar menikmati kesunyian. Di antara mereka, manusia hanyalah satu bagian kecil.

Kilatan cahaya kembali menyambar. Hujan mulai turun, perlahan tapi pasti. Aroma tanah yang basah menguar, menyegarkan, seperti parfum yang hanya bisa diciptakan oleh alam. Biarkan hujan mengguyur; ia seperti berbisik, menyampaikan pesan yang hanya bisa dipahami oleh hati yang tenang. Suara jangkrik mulai melemah, digantikan oleh gemericik air. Kodok masih bertahan, menyanyikan lagu hujan dengan suara beratnya. Burung hantu diam, mungkin mencari tempat berteduh.

Langit terus ditatap. Mendung itu, yang awalnya tampak seperti ancaman, kini berubah menjadi teman. Ia mengajarkan bahwa tidak semua yang gelap itu menakutkan. Kadang, gelap adalah ruang untuk merenung, untuk mendengar suara-suara yang biasanya terabaikan. Dalam kegelapan, ditemukan bagian diri yang telah lama hilang.

Malam terus berjalan, membawa serta nyanyiannya. Dan di bawah mendung, di tengah simfoni malam itu, hanya ada penerimaan, tanpa mencoba memahaminya, hanya mendengarkan.

 

Serpihan acak merayap di batas logika dan absurditas, paradoks pencatat kata, menggugat batas nalar dan rasa, eksplorasi tanpa definisi. Tanpa janji bahagia, juga bukan putus asa. Tak perlu jawaban, …

Post a Comment

runtahgila Welcome to WhatsApp
Howdy ?
Type here...