Eksplorasi Tanpa Definisi | Runtahgila

Tetesan Kata, Jejak yang Hilang


        Menulis. Sesuatu yang tampaknya sederhana: merangkai kata-kata, menyusun kalimat. Tapi pernahkah terpikir, di balik tiap lekuk huruf, ada semacam misteri yang menunggu diungkap? Kata-kata mengendap di ujung pena, menjadi saksi bisu dari kerapuhan atau keagungan pikiran. Menulis itu bukan sekadar memaparkan. Tidak, jauh lebih dari itu, menulis adalah merasuki hutan kalimat dan tersesat dalam percakapan sunyi dengan diri.

        Dalam menulis, selalu ada kekosongan yang harus dipenuhi. Seperti membongkar lemari kenangan, tiap kalimat harus digali dari tumpukan rasa dan ingatan yang nyaris terabaikan. Menulis itu memeras hati, memanggil bisikan-bisikan yang tersembunyi di pojok-pojok kesadaran, yang terkadang enggan untuk dihadirkan ke permukaan. Aneh, ya? Menulis justru adalah menembus labirin kesunyian yang sulit dijelaskan.

        Lalu, untuk apa menulis? Bukankah tiap orang sudah penuh dengan beban pikir dan desah hidup? Tapi, mungkin saja, menulis adalah cara kita berbicara dengan sunyi. Kadang, dalam dunia yang penuh suara, sunyi menjadi pengkhianat. Ia memaksa kita memeluknya, dan dalam pelukan itu, kata-kata muncul, merayap dari sisi-sisi yang tak terduga. Menulis bukanlah aktivitas untuk mengerti, tetapi lebih sering untuk menyelami apa yang tidak kita pahami tentang diri kita sendiri.

        Di sinilah letak keanehan yang menjadikan menulis itu penuh luka sekaligus penyembuhan. Ketika jemari menari di atas kertas atau tuts, kadang mereka berhenti, terbata-bata di antara jeda dan kata. Sebab, dalam tiap titik jeda, terselip ragu yang menghantui, apakah ini cukup bermakna? Apakah ini layak dibaca? Tapi entah bagaimana, setelah cukup banyak bergulat, kata-kata itu pun lahir, menjadi jejak yang tertinggal meski dalam hati ada rasa bahwa jejak itu mungkin tak pernah cukup untuk menggambarkan kedalaman yang kita simpan.

        Menulis itu kerja merawat luka, mengupas luka, membasuhnya dengan tinta. Dan anehnya, luka itu, semakin ditulis semakin dalam, semakin meradang, tapi di sisi lain, semakin menenangkan. Tiap kalimat seperti meneteskan balsam, melumuri luka-luka tersembunyi yang sebelumnya kita biarkan terlupakan. Menulis itu seperti bercakap dengan bagian diri yang telah lama bungkam, yang akhirnya diizinkan berbicara, menelusuri setiap batas pikiran yang tak pernah terucap.

        Dan dalam tiap tulisan, sepertinya selalu ada rasa kehilangan yang menyertai. Karena pada akhirnya, kata-kata yang berhasil kita rangkai hanyalah bayangan samar dari apa yang sungguh-sungguh ingin kita sampaikan. Tiap huruf adalah representasi dari sebuah kekosongan; ia muncul dan menghilang dalam waktu yang sama. Tapi justru dalam kehilangan itu, kita belajar menghargai pertemuan yang sederhana: antara pena dan kertas, antara pikiran dan kata-kata.

Menulislah. Jangan pedulikan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Sebab, menulis adalah menenun sunyi menjadi sesuatu yang nyata, sejenak, sebelum kembali menghilang dalam lautan lupa. Menulislah, sebab hanya dengan menulis, kita bisa merekam bisikan terdalam yang mungkin takkan pernah terdengar oleh siapa pun, termasuk diri sendiri.

Serpihan acak merayap di batas logika dan absurditas, paradoks pencatat kata, menggugat batas nalar dan rasa, eksplorasi tanpa definisi. Tanpa janji bahagia, juga bukan putus asa. Tak perlu jawaban, …

Post a Comment

runtahgila Welcome to WhatsApp
Howdy ?
Type here...