Di sebuah desa yang dilalui oleh sungai panjang dan tenang, hidup seorang penjaga pintu air bernama Pak Darma. Tugasnya sederhana namun penuh tanggung jawab: memastikan aliran sungai tetap lancar, pintu-pintu air dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan, serta menjaga agar air tidak meluap ke ladang atau masuk ke permukiman. Setiap hari, sejak subuh hingga malam tiba, ia berkeliling menyusuri tepian sungai, memeriksa aliran, membersihkan sampah yang tersangkut, dan memastikan semua berjalan sebagaimana mestinya. Namun bagi penduduk desa, Darma hanyalah bagian dari lanskap harian yang mereka abaikan.
Banyak yang memandangnya dengan rasa acuh. "Cuma penjaga pintu air," begitu gumam sebagian warga. Mereka lebih sibuk dengan sawah, kebun, atau berdagang di pasar, tanpa menyadari bahwa aliran air yang stabil adalah alasan utama mengapa sawah tetap subur dan kebun tidak terendam banjir. Ketika Darma memperingatkan soal perbaikan yang perlu dilakukan pada bendungan kecil di hulu, mereka mengabaikannya. "Sudah bertahun-tahun tidak apa-apa," kata mereka. Hingga suatu hari, Darma jatuh sakit dan tak lagi bisa menjalankan tugasnya.
Awalnya, desa tidak terlalu peduli. "Hanya pintu air," pikir mereka. Namun, beberapa minggu setelah itu, hujan deras mengguyur tanpa henti. Sungai mulai meluap, air merendam sawah dan kebun, bahkan beberapa rumah ikut terendam. Mereka mencoba menutup pintu air sendiri, tetapi sistemnya rumit, dan tanpa pengalaman Darma, usaha mereka sia-sia. Sawah yang biasanya panen tepat waktu kini berubah menjadi kubangan lumpur. Kebun-kebun sayur yang menjadi sumber utama pangan dan penghasilan lenyap begitu saja.
Hanya ketika kerugian tak terelakkan, penduduk desa mulai menyadari bahwa Darma, yang selama ini mereka anggap remeh, adalah kunci dari keseimbangan hidup mereka. Ia bukan sekadar penjaga pintu air, melainkan pengatur aliran yang memastikan desa tetap hidup dan produktif. Kehadirannya yang tenang dan tak banyak bicara ternyata adalah penjaga keberlangsungan seluruh ekosistem desa.
Cerita ini menjadi cerminan dari bagaimana kita sering kali mengabaikan peran-peran kecil yang tidak mencolok dalam kehidupan kita. Orang-orang seperti Darma ada di sekitar kita—mereka yang bekerja dalam diam, memastikan hal-hal penting tetap berjalan tanpa gangguan. Mereka adalah para buruh yang membersihkan jalanan, petani yang menanam makanan kita, hingga pekerja kasar yang membangun infrastruktur yang kita gunakan sehari-hari. Namun, seperti penduduk desa, kita sering lupa menghargai mereka hingga akhirnya ketiadaan mereka menjadi pukulan yang terasa begitu keras. Mereka semua adalah fondasi dari struktur besar yang sering kali mengabaikan eksistensinya. Orang kecil ini bekerja dalam keheningan, tanpa pujian atau penghargaan yang layak. Namun, ketika mereka berhenti atau hilang, dampaknya dirasakan dengan sangat nyata.
Lebih jauh lagi, cerita ini juga menggambarkan dinamika kekuasaan di masyarakat modern. Institusi yang megah, baik itu perusahaan besar, pemerintah, atau sistem lainnya, sering kali sibuk memusatkan perhatian pada kekuasaan dan keuntungan, tanpa melihat peran-peran tak terlihat yang menopang mereka. Mereka mengabaikan bahwa keberhasilan besar sering kali dibangun di atas kerja keras orang-orang kecil yang nyaris tidak terlihat. Ketika mereka akhirnya kehilangan orang-orang yang membuat sistem itu tetap berjalan, mereka akan merasakan dampaknya: kegagalan total yang hanya bisa disadari ketika semuanya sudah terlambat. Mereka lupa bahwa keberhasilan sistem yang megah tidak akan mungkin tercapai tanpa kontribusi orang-orang kecil yang jarang disorot. Ketika mereka kehilangan orang-orang seperti Darma, sistem itu perlahan runtuh, karena fondasinya telah goyah.
Desa itu adalah potret kita. Betapa sering kita menganggap remeh sesuatu yang tampak kecil, hanya untuk menyadari pentingnya ketika semuanya sudah terlambat. Kita terlalu sering memandang ke atas, mengejar ambisi besar, tanpa melirik ke bawah, tempat fondasi sebenarnya berada. Kehidupan ini seperti aliran sungai yang diatur oleh pintu air—jika tidak ada yang menjaga, keseimbangan akan hilang, membawa kehancuran pada semua yang berada di sepanjang alirannya.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak, melihat sekeliling, dan bertanya: siapa saja "Pak Darma" dalam hidup kita yang selama ini kita abaikan? Jangan sampai, seperti desa itu, kita baru memahami peran penting mereka ketika sungai meluap dan semuanya terlambat untuk diperbaiki. Karena pada akhirnya, hidup ini adalah tentang saling menopang, dan tidak ada roda yang bisa berputar tanpa poros kecil yang membuatnya tetap seimbang.
Kita hidup dalam masyarakat yang sering kali membiarkan kesombongan menutupi fakta sederhana: tidak ada hierarki yang benar-benar mandiri. Rantai yang kuat dibuat dari simpul-simpul kecil, dan memutus salah satu simpul itu, sekecil apa pun, akan meruntuhkan keseluruhan struktur.
Kesadaran ini mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Untuk memahami bahwa setiap orang memiliki perannya masing-masing, bahwa tidak ada tindakan yang terlalu kecil untuk dihargai, dan bahwa keberlanjutan hanya mungkin terjadi jika ada saling pengakuan dan kerja sama di setiap tingkat. Karena jika tidak, kita semua akan menemukan diri kita berada di ladang yang tandus, bertanya-tanya mengapa jagung yang melimpah itu tidak lagi ada.