Ketika dunia ini berbicara tentang
keadilan, ia sering berbicara dengan bahasa yang tidak sama. Ada mereka yang
sejak lahir sudah mendapat jalur yang lebih mudah, sementara ada yang terpaksa
berjuang hanya untuk melihat seberkas cahaya. Diskriminasi bukan hanya masalah
besar yang terlihat, tetapi juga hal-hal kecil yang terlalu sering diabaikan, seperti
bisikan lembut yang terus mengisi ruang-ruang yang terabaikan. Di dunia ini,
seringkali hanya beberapa sisi jendela yang dibersihkan dari debu, sementara
sisi lainnya tetap terabaikan, terbungkus kabut yang tak pernah dijamah.
Cermin Memilih Pantulan
Pernahkah perasaan bertanya mengapa
cermin lebih menyukai bayang tertentu daripada yang lain? Dunia ini, seakan,
memiliki cermin yang memilih pantulan, menilai mana yang lebih layak untuk
diterima. Mereka yang lahir dengan warna kulit yang berbeda, dengan bahasa yang
tidak dikenali, atau dengan fisik yang tak memenuhi gambaran standar keindahan
yang diterima masyarakat, sering kali merasa bahwa mereka hanya memantulkan
bayangan yang kabur. Cermin itu, seperti sistem sosial, hanya menerima gambaran
yang mereka anggap benar.
Pernahkah ada yang menyadari bahwa
tidak semua orang dilahirkan di sisi yang sama dari dunia ini? Ada yang diberi
kemewahan sejak awal, kemewahan dalam bentuk warna kulit, jenis kelamin, atau
bahkan kelas sosial yang melindungi mereka. Ada pula yang, sejak pertama kali
menginjakkan kaki di dunia ini, harus berjalan tanpa sepatu, menapak di jalanan
yang kasar dan penuh duri prasangka. Mereka, yang tak pernah diminta untuk
memilih, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sistem dunia ini, seperti
cermin yang retak, memantulkan bayangan berdasarkan seberapa terang cahaya yang
diberikan.
Mengapa mereka yang berada di luar
garis bayangan ini harus merasa terpinggirkan, terpojok, dan terkucilkan hanya
karena warna kulit atau bahasa yang mereka bawa? Di manakah keadilan dalam
dunia yang memandang perbedaan sebagai hambatan, bukan kekayaan?
Tembok Berbisik dalam Keheningan
Tembok-tembok kota yang kokoh sering
kali menyimpan bisikan yang lebih keras dari teriakan. Mereka yang berada di
luar pandangan sering mendengar bisikan itu, seolah ada sesuatu yang terus
mengingatkan mereka bahwa mereka tidak akan pernah cukup. Cukup untuk apa?
Untuk diterima? Untuk diakui? Untuk dihargai? Tembok-tembok ini, meskipun tak
tampak oleh mata, mengelilingi mereka yang dianggap berbeda. Ada yang mendengar
bisikan itu dalam setiap langkah, dalam setiap pintu yang tertutup rapat di
hadapan mereka. Ada yang merasakannya saat mata-mata menilai, saat mereka tak
diizinkan untuk berbicara atau berdiri setara dengan yang lainnya.
Ketika seseorang memasuki ruang-ruang
yang tidak ramah, ruang yang penuh dengan prasangka, mereka sering kali merasa
terasing. Sebuah kehidupan yang dipenuhi dengan perasaan tidak pernah cukup,
meski semua usaha telah dikeluarkan. Diskriminasi tidak hanya hadir dalam
bentuk pengucilan yang tampak jelas, tetapi juga dalam bentuk pengabaian yang
lebih halus, seperti angin yang mengabaikan kehadiran bunga liar yang tumbuh di
tengah reruntuhan.
Pernahkah seseorang merasa seperti
itu? Seperti bunga yang tumbuh di tengah hujan badai? Begitu rapuh, namun
begitu berani untuk tetap hidup, meski dunia terus menekan.
Bunga Tumbuh di Antara Reruntuhan
Namun, di tengah-tengah segala
ketidakadilan, ada bunga yang tumbuh di antara reruntuhan. Bunga ini tidak
dipilih oleh mata yang menghakimi, tidak dipandang oleh cermin yang selektif.
Tetapi ia tetap tumbuh, tetap mekar meski tidak dihargai. Begitu banyak yang
terlupakan di dunia ini, begitu banyak yang dianggap tak berarti. Namun,
seperti bunga yang tumbuh di tanah yang keras, mereka yang terpinggirkan tetap
menemukan cara untuk berkembang. Mereka adalah saksi hidup dari keberanian yang
tak terbendung, meskipun tidak semua orang melihatnya.
Bunga ini tidak menunggu
persetujuan. Ia mekar dengan caranya sendiri, dengan keindahan yang mungkin
hanya dapat dipahami oleh mereka yang telah belajar untuk menghargai kekuatan
yang tersembunyi dalam ketidaksempurnaan. Setiap kelopak adalah cerita yang tak
pernah dikisahkan, setiap daun adalah doa yang tak terucapkan. Mereka yang
terpinggirkan ini, seperti bunga liar, terus tumbuh meski diabaikan.
Apakah mereka yang terus bertahan di
tengah-tengah diskriminasi ini akan pernah menemukan ruang untuk berkembang
sepenuhnya? Ataukah mereka akan terus berada dalam bayang-bayang, hidup dalam
dunia yang tidak pernah memberi ruang untuk kehadiran mereka yang berbeda?
Langit Belum Terbuka Sepenuhnya
Di langit yang belum terbuka
sepenuhnya, ada warna-warna yang belum ditunjukkan kepada dunia. Mereka yang
tertutup, yang dipinggirkan, memandang langit dengan harapan, tetapi tidak ada
bintang yang cukup terang untuk memberi mereka petunjuk. Ketika langit malam
penuh dengan bintang yang bersinar terang, mengapa masih ada yang merasa
terasing, terjauhkan dari kilauan itu? Seperti langit yang masih menyimpan
warna-warna yang belum muncul, ada keindahan dalam setiap perbedaan yang belum
dirayakan.
Diskriminasi adalah langit yang
tertutup awan gelap, di mana bintang-bintang yang berbeda tak dapat bersinar
dengan bebas. Langit itu menahan warna-warna yang seharusnya menyatu,
menciptakan harmoni yang kaya dan indah. Namun, langit itu belum sepenuhnya
terbuka. Ia masih menyimpan sebagian dari keindahannya untuk diri sendiri,
belum siap untuk berbagi dengan semua.
Bisakah suatu hari nanti, langit itu
terbuka? Bisakah setiap orang merasakan cahaya yang sama, tanpa dibedakan oleh
warna kulit, jenis kelamin, atau latar belakang mereka? Langit ini, meskipun
tertutup awan, tetap membawa harapan bahwa ada ruang bagi semua untuk bersinar,
jika saja mereka diberikan kesempatan yang sama.
Tanya Tanpa Jawab Menggema di Malam
Di setiap malam yang sunyi, ada
pertanyaan yang menggema. Mengapa masih ada diskriminasi di dunia ini? Mengapa
masih ada ruang-ruang yang terkunci hanya karena perbedaan yang tidak dapat
dikendalikan? Seperti bisikan yang bergema dalam keheningan malam, pertanyaan
itu terus berulang, tak pernah berhenti.
Bisakah dunia ini berubah? Bisakah
ruang-ruang yang penuh bayang-bayang itu terbuka, memberi tempat bagi semua?
Ataukah diskriminasi akan terus berakar, mengakar begitu dalam sehingga tak
mungkin terlepas? Bagaimana dunia ini bisa menemukan jalan keluar dari
keterkungkungan ketidakadilan?
Apa yang diperlukan agar kita bisa
melihat dunia dengan mata yang lebih luas, dengan hati yang lebih terbuka?
Mungkin yang dibutuhkan adalah lebih banyak ruang untuk mereka yang tidak
terdengar. Lebih banyak perhatian bagi mereka yang terpinggirkan, lebih banyak
cinta yang tidak dibedakan oleh warna atau latar belakang.
Perjalanan Masih Panjang
Setiap kalimat, setiap kata, adalah undangan untuk merenung lebih dalam. Diskriminasi adalah bayang yang terus ada, tetapi bayang itu tidak pernah menghalangi cahaya dari dunia ini untuk terus menyinari. Seperti bunga yang tumbuh di antara reruntuhan, setiap individu yang terpinggirkan memiliki kekuatan untuk mekar, bahkan ketika dunia tidak siap untuk merayakannya. Namun, apakah dunia ini akan siap untuk berubah? Apakah ruang-ruang yang kosong akan diisi dengan keadilan, ataukah bayang itu akan terus berlanjut? Ini adalah perjalanan panjang yang belum selesai, dan perjalanan ini tidak akan pernah berhenti, selama masih ada suara yang ingin didengar.