Eksplorasi Tanpa Definisi | Runtahgila

Diskriminasi : Narasi yang Terkubur dalam Bayang

Diskriminasi, Narasi yang Terkubur dalam Bayang, Seperti hujan yang memilih satu sisi jendela untuk mengetuk, ada dunia yang dilihat oleh sebagian,

Narasi yang Terkubur dalam Bayang



            Seperti hujan yang memilih satu sisi jendela untuk mengetuk, ada dunia yang dilihat oleh sebagian, namun tetap tak tersentuh oleh banyak lainnya. Dunia ini, begitu luas, penuh dengan ribuan narasi yang tak pernah diungkapkan, hidup dalam bayang-bayang. Mereka yang tidak disebutkan namanya, yang tersembunyi di balik pintu yang tak pernah dibuka, di luar pandangan mata. Adalah mereka yang sering kali tidak pernah diberikan ruang untuk berkata. Dalam ruang yang sempit ini, diskriminasi menjelma sebagai rintangan yang tak tampak, namun nyata. Ia tidak berteriak, tetapi berbisik dalam keheningan yang terlalu sering dianggap biasa.

            Ketika dunia ini berbicara tentang keadilan, ia sering berbicara dengan bahasa yang tidak sama. Ada mereka yang sejak lahir sudah mendapat jalur yang lebih mudah, sementara ada yang terpaksa berjuang hanya untuk melihat seberkas cahaya. Diskriminasi bukan hanya masalah besar yang terlihat, tetapi juga hal-hal kecil yang terlalu sering diabaikan, seperti bisikan lembut yang terus mengisi ruang-ruang yang terabaikan. Di dunia ini, seringkali hanya beberapa sisi jendela yang dibersihkan dari debu, sementara sisi lainnya tetap terabaikan, terbungkus kabut yang tak pernah dijamah.

 

Cermin Memilih Pantulan

            Pernahkah perasaan bertanya mengapa cermin lebih menyukai bayang tertentu daripada yang lain? Dunia ini, seakan, memiliki cermin yang memilih pantulan, menilai mana yang lebih layak untuk diterima. Mereka yang lahir dengan warna kulit yang berbeda, dengan bahasa yang tidak dikenali, atau dengan fisik yang tak memenuhi gambaran standar keindahan yang diterima masyarakat, sering kali merasa bahwa mereka hanya memantulkan bayangan yang kabur. Cermin itu, seperti sistem sosial, hanya menerima gambaran yang mereka anggap benar.

            Pernahkah ada yang menyadari bahwa tidak semua orang dilahirkan di sisi yang sama dari dunia ini? Ada yang diberi kemewahan sejak awal, kemewahan dalam bentuk warna kulit, jenis kelamin, atau bahkan kelas sosial yang melindungi mereka. Ada pula yang, sejak pertama kali menginjakkan kaki di dunia ini, harus berjalan tanpa sepatu, menapak di jalanan yang kasar dan penuh duri prasangka. Mereka, yang tak pernah diminta untuk memilih, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sistem dunia ini, seperti cermin yang retak, memantulkan bayangan berdasarkan seberapa terang cahaya yang diberikan.

            Mengapa mereka yang berada di luar garis bayangan ini harus merasa terpinggirkan, terpojok, dan terkucilkan hanya karena warna kulit atau bahasa yang mereka bawa? Di manakah keadilan dalam dunia yang memandang perbedaan sebagai hambatan, bukan kekayaan?

 

Tembok Berbisik dalam Keheningan

            Tembok-tembok kota yang kokoh sering kali menyimpan bisikan yang lebih keras dari teriakan. Mereka yang berada di luar pandangan sering mendengar bisikan itu, seolah ada sesuatu yang terus mengingatkan mereka bahwa mereka tidak akan pernah cukup. Cukup untuk apa? Untuk diterima? Untuk diakui? Untuk dihargai? Tembok-tembok ini, meskipun tak tampak oleh mata, mengelilingi mereka yang dianggap berbeda. Ada yang mendengar bisikan itu dalam setiap langkah, dalam setiap pintu yang tertutup rapat di hadapan mereka. Ada yang merasakannya saat mata-mata menilai, saat mereka tak diizinkan untuk berbicara atau berdiri setara dengan yang lainnya.

            Ketika seseorang memasuki ruang-ruang yang tidak ramah, ruang yang penuh dengan prasangka, mereka sering kali merasa terasing. Sebuah kehidupan yang dipenuhi dengan perasaan tidak pernah cukup, meski semua usaha telah dikeluarkan. Diskriminasi tidak hanya hadir dalam bentuk pengucilan yang tampak jelas, tetapi juga dalam bentuk pengabaian yang lebih halus, seperti angin yang mengabaikan kehadiran bunga liar yang tumbuh di tengah reruntuhan.

            Pernahkah seseorang merasa seperti itu? Seperti bunga yang tumbuh di tengah hujan badai? Begitu rapuh, namun begitu berani untuk tetap hidup, meski dunia terus menekan.

 

Bunga Tumbuh di Antara Reruntuhan

            Namun, di tengah-tengah segala ketidakadilan, ada bunga yang tumbuh di antara reruntuhan. Bunga ini tidak dipilih oleh mata yang menghakimi, tidak dipandang oleh cermin yang selektif. Tetapi ia tetap tumbuh, tetap mekar meski tidak dihargai. Begitu banyak yang terlupakan di dunia ini, begitu banyak yang dianggap tak berarti. Namun, seperti bunga yang tumbuh di tanah yang keras, mereka yang terpinggirkan tetap menemukan cara untuk berkembang. Mereka adalah saksi hidup dari keberanian yang tak terbendung, meskipun tidak semua orang melihatnya.

            Bunga ini tidak menunggu persetujuan. Ia mekar dengan caranya sendiri, dengan keindahan yang mungkin hanya dapat dipahami oleh mereka yang telah belajar untuk menghargai kekuatan yang tersembunyi dalam ketidaksempurnaan. Setiap kelopak adalah cerita yang tak pernah dikisahkan, setiap daun adalah doa yang tak terucapkan. Mereka yang terpinggirkan ini, seperti bunga liar, terus tumbuh meski diabaikan.

            Apakah mereka yang terus bertahan di tengah-tengah diskriminasi ini akan pernah menemukan ruang untuk berkembang sepenuhnya? Ataukah mereka akan terus berada dalam bayang-bayang, hidup dalam dunia yang tidak pernah memberi ruang untuk kehadiran mereka yang berbeda?

 

Langit Belum Terbuka Sepenuhnya

            Di langit yang belum terbuka sepenuhnya, ada warna-warna yang belum ditunjukkan kepada dunia. Mereka yang tertutup, yang dipinggirkan, memandang langit dengan harapan, tetapi tidak ada bintang yang cukup terang untuk memberi mereka petunjuk. Ketika langit malam penuh dengan bintang yang bersinar terang, mengapa masih ada yang merasa terasing, terjauhkan dari kilauan itu? Seperti langit yang masih menyimpan warna-warna yang belum muncul, ada keindahan dalam setiap perbedaan yang belum dirayakan.

            Diskriminasi adalah langit yang tertutup awan gelap, di mana bintang-bintang yang berbeda tak dapat bersinar dengan bebas. Langit itu menahan warna-warna yang seharusnya menyatu, menciptakan harmoni yang kaya dan indah. Namun, langit itu belum sepenuhnya terbuka. Ia masih menyimpan sebagian dari keindahannya untuk diri sendiri, belum siap untuk berbagi dengan semua.

            Bisakah suatu hari nanti, langit itu terbuka? Bisakah setiap orang merasakan cahaya yang sama, tanpa dibedakan oleh warna kulit, jenis kelamin, atau latar belakang mereka? Langit ini, meskipun tertutup awan, tetap membawa harapan bahwa ada ruang bagi semua untuk bersinar, jika saja mereka diberikan kesempatan yang sama.

 

Tanya Tanpa Jawab Menggema di Malam

            Di setiap malam yang sunyi, ada pertanyaan yang menggema. Mengapa masih ada diskriminasi di dunia ini? Mengapa masih ada ruang-ruang yang terkunci hanya karena perbedaan yang tidak dapat dikendalikan? Seperti bisikan yang bergema dalam keheningan malam, pertanyaan itu terus berulang, tak pernah berhenti.

            Bisakah dunia ini berubah? Bisakah ruang-ruang yang penuh bayang-bayang itu terbuka, memberi tempat bagi semua? Ataukah diskriminasi akan terus berakar, mengakar begitu dalam sehingga tak mungkin terlepas? Bagaimana dunia ini bisa menemukan jalan keluar dari keterkungkungan ketidakadilan?

            Apa yang diperlukan agar kita bisa melihat dunia dengan mata yang lebih luas, dengan hati yang lebih terbuka? Mungkin yang dibutuhkan adalah lebih banyak ruang untuk mereka yang tidak terdengar. Lebih banyak perhatian bagi mereka yang terpinggirkan, lebih banyak cinta yang tidak dibedakan oleh warna atau latar belakang.

 

Perjalanan Masih Panjang

            Setiap kalimat, setiap kata, adalah undangan untuk merenung lebih dalam. Diskriminasi adalah bayang yang terus ada, tetapi bayang itu tidak pernah menghalangi cahaya dari dunia ini untuk terus menyinari. Seperti bunga yang tumbuh di antara reruntuhan, setiap individu yang terpinggirkan memiliki kekuatan untuk mekar, bahkan ketika dunia tidak siap untuk merayakannya. Namun, apakah dunia ini akan siap untuk berubah? Apakah ruang-ruang yang kosong akan diisi dengan keadilan, ataukah bayang itu akan terus berlanjut? Ini adalah perjalanan panjang yang belum selesai, dan perjalanan ini tidak akan pernah berhenti, selama masih ada suara yang ingin didengar.


Serpihan acak merayap di batas logika dan absurditas, paradoks pencatat kata, menggugat batas nalar dan rasa, eksplorasi tanpa definisi. Tanpa janji bahagia, juga bukan putus asa. Tak perlu jawaban, …

Post a Comment

runtahgila Welcome to WhatsApp
Howdy ?
Type here...