Eksplorasi Tanpa Definisi | Runtahgila

Kesalahan Orang Lain Selalu Lebih Terang

Yang paling gampang terlihat adalah salahnya orang lain. Lihat saja, ketika seseorang

Kesalahan Orang Lain Selalu Lebih Terang

Apa yang paling gampang kita lihat? Bukan pemandangan indah atau momen yang membahagiakan. Yang paling gampang terlihat adalah salahnya orang lain. Lihat saja, ketika seseorang tersandung kata-katanya, kita tertawa. Ketika seseorang gagal, kita bisik-bisik. Ironinya, cermin yang kita pakai untuk melihat diri sendiri sering buram. Kita lebih sering menjadi hakim yang tegas untuk orang lain, tapi pengacara yang lembut untuk diri sendiri.

Mengapa begitu? Apa otak kita memang didesain seperti ini? Atau, ini cuma budaya yang sudah mengakar dalam sejarah umat manusia?

 

Perilaku Menyalahkan Orang Lain

Mari tengok dulu sejarahnya. Sejak zaman purba, manusia hidup dalam kelompok kecil. Bertahan hidup berarti memantau perilaku orang lain, siapa yang membahayakan, siapa yang patut dipercaya. Tapi, ini juga berarti manusia selalu siap menunjukkan kesalahan orang lain untuk melindungi diri sendiri. Ketika ada yang salah, kita cenderung melempar tudingan untuk mengalihkan perhatian dari kelemahan kita.

Contoh klasik? Dalam agama-agama besar, ada cerita Adam dan Hawa. Ketika Adam makan buah terlarang, ia langsung menyalahkan Hawa. Hawa? Ia menyalahkan ular. Lingkaran saling tunjuk ini sudah ada sejak kita mulai bercerita.

 

Mengapa Kita Buta Terhadap Kesalahan Sendiri?

Psikologi punya istilah keren untuk ini: bias atribusi fundamental. Intinya, kita cenderung menganggap kesalahan orang lain sebagai masalah karakter mereka, tapi kesalahan kita sendiri sebagai akibat situasi.

Misalnya, kalau teman Anda terlambat datang ke janji temu, Anda mungkin berpikir, “Dia malas dan tidak menghargai waktu.” Tapi kalau Anda yang terlambat? Tiba-tiba Anda punya seribu alasan: “Macet,” “Alarm nggak bunyi,” atau “Aku terlalu sibuk.”

Hal ini diperkuat oleh efek Dunning-Kruger, di mana orang yang kurang kompeten cenderung tidak menyadari kekurangannya. Mereka merasa sudah benar, bahkan ketika jelas-jelas salah.

 

Media Sosial: Panggung untuk Menunjuk Kesalahan Orang Lain

Di era digital, kebiasaan ini makin parah. Media sosial seperti panggung besar, tempat kita semua jadi juri tanpa lisensi. Ketika seseorang membuat kesalahan kecil, entah salah bicara atau mengunggah sesuatu yang controversial, kita cepat-cepat menekan tombol share sambil menambahkan komentar pedas.

Namun, media sosial juga menyembunyikan kekurangan kita sendiri. Filter, highlight, dan algoritma membuat hidup kita terlihat lebih sempurna daripada kenyataan. Kita menjadi penonton kehidupan orang lain yang tidak sempurna, sambil menyembunyikan ketidaksempurnaan kita di balik layar.

 

Literasi dan Kesadaran Diri: Menemukan Cermin yang Jernih

Banyak filsuf dari berbagai budaya membahas soal ini. Dalam Islam, konsep muhasabah (introspeksi diri) diajarkan sebagai cara untuk melihat dosa-dosa sendiri sebelum menghakimi orang lain. Sementara itu, Socrates di Yunani Kuno berkata, “Hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani.”

Namun, kesadaran diri ini butuh latihan. Kita harus belajar untuk berhenti sejenak, bertanya: “Apakah aku terlalu keras pada orang lain? Apakah aku sendiri punya kesalahan yang mirip?”

 

Kita Tidak Sendiri

Sebuah survei dari Pew Research Center pada 2018 menemukan bahwa 76% orang Amerika merasa nyaman mengkritik orang lain secara online, tetapi hanya 41% yang terbuka terhadap kritik balik. Ini menunjukkan bahwa kecenderungan untuk melihat kesalahan orang lain lebih jelas daripada kesalahan sendiri adalah masalah global.

Studi lain oleh University of Chicago mengungkapkan bahwa orang lebih cenderung mengingat kesalahan orang lain karena emosi yang ditimbulkan lebih kuat dibandingkan dengan introspeksi diri.

Solusinya?

  1. Latihan Empati:

Cobalah membayangkan diri Anda di posisi orang lain. Ketika mereka berbuat salah, tanyakan: “Apa yang akan kulakukan dalam situasi yang sama?”

  1. Jeda Sebelum Menghakimi:

Sebelum mengomentari kesalahan orang lain, beri waktu pada diri sendiri untuk berpikir. Apa yang sebenarnya Anda cari—perbaikan, atau hanya sekadar pembenaran diri?

  1. Ajari Otak untuk Melihat Kesalahan Sendiri:

Biasakan diri untuk melakukan evaluasi harian. Tulis kesalahan yang Anda lakukan dan pikirkan bagaimana Anda bisa memperbaikinya.

  1. Kurangi Konsumsi Media Sosial:

Platform ini sering membuat kita menjadi lebih kritis terhadap orang lain dan kurang sadar terhadap diri sendiri. Ambil waktu untuk detoks digital.

 

Menghadapi Bayangan Kita Sendiri

Kesalahan orang lain mungkin terlihat lebih terang, tapi itu hanya karena kita tidak cukup berani menyalakan lampu di dalam diri kita sendiri. Dunia ini tidak butuh lebih banyak hakim, tapi lebih banyak cermin yang jernih.

Kita semua punya sisi gelap, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, bagaimana kita memilih untuk menyikapi itu, melihat, menerima, dan berubah. Jangan hanya melihat retaknya orang lain. Tengok retak di cerminmu sendiri.

 

 


Serpihan acak merayap di batas logika dan absurditas, paradoks pencatat kata, menggugat batas nalar dan rasa, eksplorasi tanpa definisi. Tanpa janji bahagia, juga bukan putus asa. Tak perlu jawaban, …

Post a Comment

runtahgila Welcome to WhatsApp
Howdy ?
Type here...