Duduk Tawarruk
Tawarruk berasal dari kata al-warik yang berarti pangkal paha. Disebut duduk tawarruk karena seorang yang duduk dengan sikap demikian menjadikan pangkal paha kirinya sebagai sandaran. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat hadits Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu :
وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى
Ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamduduk di akhir beliau duduk
dengan pangkal paha kirinya. [HR Ahmad, 4382].
Dalam riwayat lain dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu sikap duduk tawarruk adalah sebagai berikut:
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِه
Ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamduduk di raka’at akhir, beliau
mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki yang lain kemudian duduk pada
tempatnya. [HR al-Bukhâri, 828].
Duduk
Iftirâsy
Iftirâsy, berasal dari kata farasya yang berarti membentangkan. Sikap duduk ini dilakukan dengan cara duduk beralaskan telapak kaki kiri kemudian menegakkan kaki kanan, berdasarkan hadits Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu :
جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى
وَنَصَبَ الْيُمْنَى
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya.
Sifat
Duduk Tasyahud Akhir
Para Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Berikut ini pendapat mereka beserta sandaran dalilnya.
Pendapat pertama ; Duduk pada raka’at terakhir dilakukan dengan duduk iftirâsy
Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanafiyyah. Mereka berpendapat bahwa semua duduk dalam shalat di setiap raka’at dilakukan dengan cara iftirâsy. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani rahimahullah menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah , “Imam Abu Hanifah mengatakan, ‘Duduk di dalam shalat semuanya sama, baik pada raka’at kedua ataupun raka’at terakhir. Yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri (iftirâsy).
Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia berkata:
وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallammembentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. (HR Muslim, 240).
Pendapat kedua ; Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh duduk dalam shalat adalah tawarruk.
Pendapat ini dipegang oleh madzhab Mâlikiyyah. Pendapat ini merupakan kebalikan dari pendapat Ulama Hanafiyyah.
Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Sikap duduk di antara dua sujud sama dengan duduk tasyahud, yaitu dengan meletakkan pantat (kiri) di atas tanah, menegakkan kaki kanannya serta mengeluarkan kaki kirinya.”
Pendapat ini berdasarkan hadits Abdillâh bin Umar Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan Imam Mâlik rahimahullah sendiri dalam al-Muwatha`. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata :
إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَن تَنْصِبَ رِجْلَكَ اليُمْنَى وَتُثْنِيَ رِجْلَكَ اليُسْرَى
Sunnah
shalat adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menjulurkan kaki kirimu (keluar
melewati kaki kanan).
Pendapat
Ketiga ; Pendapat yang mengatakan bahwa duduk akhir pada shalat dilakukan
dengan cara tawarruk sedangkan selain raka’at akhir dilakukan dengan cara
iftirâsy
Ini pendapat madzhab Syâfi’iyyah. Disebutkan oleh Imam sl-Mawardi dalam Syarh Mukhtashar Muzani, ketika mengomentari ucapan Imam Syâfi’i rahimahullah tentang duduk di raka’at terakhir, ia mengatakan, “Adapun duduk ketika itu (tasyahud akhir, pen.), dilakukan dengan cara tawarruk sebagaimana yang telah kami jelaskan. Sedangkan ketika tasyahhud awal dilakukan dengan cara iftirâsy sebagaimana telah kami sebutkan.”
Pendapat ini didasarkan pada hadits Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhuma yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Humaid as-Sa’idi berkata :
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Akulah yang paling hafal shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian berkaitan dengan sifat duduk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu berkata :
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Jika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamduduk pada raka’at kedua, (maka) beliau
duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Kemudian ketika duduk
di raka’at terakhir, beliau n mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki
kanannya, kemudian duduk di atas tempatnya.
Pendapat
Keempat; Duduk tawarruk hanya dilakukan dalam shalat yang terdapat dua
tasyahhud saja, yaitu shalat tiga raka’at (Maghrib), dan empat raka’at (Zhuhur,
‘Ashar, dan ‘Isya). Adapun shalat yang hanya memiliki satu kali tasyahhud, maka
duduknya adalah iftirâsy.
Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanabilah. Berkenaan dengan hal ini, perhatikanlah percakapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dengan putranya Abdullah berikut ini.
Abdullah mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku tentang duduk tawarruk di dalam shalat.
Ayahku mengatakan, “Hadits Abu Humaid menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tawarruk pada raka’at yang keempat.”
Aku katakan, “Bagaimana dengan shalat Fajar dan Jum’at, apakah duduknya juga tawarruk ?”
Ayahku menjawab, “Tidak! Untuk shalat Fajar dan Jum’at, duduknya bukan tawarruk karena duduk (tasyahhud)-nya hanya satu.”
Aku katakan, “Tapi Imam asy-Syâfi’i mengatakan bahwa duduknya tetap tawarruk, karena duduk tawarruk itu dijadikan untuk duduk dalam waktu yang lebih lama.”
Ayahku menjawab, “Bagiku tidak demikian, seorang hamba hanya duduk tawarruk dalam shalat yang memiliki dua duduk (tasyahhud). Shalat ‘Isya duduk (akhirnya) tawarruk juga, karena di dalamnya terdapat dua duduk tasyahhud.“
Dalil Imam Ahmad rahimahullah yang mendasari pendapat beliau ini sama dengan dalil yang digunakan oleh Imam Syâfi’i rahimahullah sebelumnya, yaitu hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu, hanya saja Imam Ahmad rahimahullah memandang bahwa hadits Abu Humaid itu khusus bagi shalat yang memiliki dua tasyahhud saja, yaitu Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya. Sedangkan Imam Syâfi’i rahimahullah memandang bahwa hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu ini umum berlaku bagi semua shalat, baik shalat yang memiliki satu tasyahhud maupun dua tasyahhud.
Masing-Masing
Memiliki Salaf
Bagi yang ingin duduk iftirâsy pada raka’at terakhir mereka memiliki Salaf, yakni: Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan para fuqaha dari Kufah. Demikian juga bagi yang ingin duduk tawarruk pada raka’at terakhir pada setiap shalat juga memiliki Salaf. Yaitu, yang pertama –tentunya- Abu Humaid Radhiyallahu anhu, perawi hadits sifat shalat Nabi itu sendiri, kemudian Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Sedangkan bagi yang ingin duduk iftirâsy pada duduk akhir shalat dua raka’at, juga dipersilahkan, dan mereka juga memiliki Salaf, yaitu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah.
Menyikapi perbedaan pendapat ini, Imam Thabari rahimahullah berkata:
إِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ وَإِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ، كُلُّ ذَلِكَ
قَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ
Yang
ini benar dan yang itu benar, semuanya ada riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam .
Artinya, dalam permasalahan ini sikap toleransilah yang mesti dikedepankan. Terkadang kita mendapati fenomena dakwah yang kurang menyenangkan. Ketika permasalahan khilafiyah ijtihadiyyah seperti ini dijadikan tolak ukur dalam hal wala` dan barra`. Ada kesan bahwa duduk isftirasy pada shalat satu tasyahhud adalah pendapat golongan A. Sementara yang duduk tawarruk pada shalat satu tasyahhud bukan pendapat golongan B. Hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena masing-masing memiliki Salaf. Masing-masing telah berusaha untuk mengikuti Salaf mereka.