Mereka datang dalam debu, dalam bayang senja yang tak lagi mengabarkan arah.
Langkah mereka bukan parade, tapi luka yang bersuara pelan.
Ada yang kehilangan nama, ada yang menggenggam bara, dan ada yang meski tertatih masih menggenggam langit dengan tangan yang gemetar.
Enam puluh wajah. Tak seluruhnya mulia, tak seluruhnya bersih. Tapi di antara retak-retaknya, ada sesuatu yang lebih tajam dari logam: tekad untuk terus bergerak, meski merangkak, ke arah yang tak tampak oleh mata biasa.
Ini bukan cerita tentang menang. Bukan tentang sempurna.
Ini tentang jatuh, dan memilih jatuh lagi… ke tempat yang sama, karena percaya luka itu suci.
Buku ini bukan pintu, tapi bayangan pintu.
Dan bila kau cukup diam, mungkin kau akan mendengar mereka memanggil dari lorong waktu yang tak tercatat oleh sejarah.