Tak ada langit di sela reranting ini
Hanya hijau menggigil dalam diam
menerima embun tanpa memohon
menyerap gelap tanpa perlawanan
Di pucuknya, tak ada ambisi
Hanya lipatan doa,
yang tak dibisikkan
Gerigi halus di tepi tubuhnya
tak pernah mencakar,
hanya mencatat jejak waktu
yang ditumpahkan pada batu
Di pucuknya, tak ada ambisi
Hanya lipatan doa,
yang tak dibisikkan
bukan besi, bukan duri
tak patah meski diinjak musim
bukan tempat tinggal cahaya
melainkan penyimpan sunyi
Di pucuknya, tak ada ambisi
Hanya lipatan doa,
yang tak dibisikkan
yang tak pernah ditanya
dan tak ingin dijawab
Di tanah yang jarang disentuh matahari, tumbuh sesuatu yang tidak punya niat untuk pergi. Ia tidak melawan. Ia tidak menunggu. Ia hanya ada. Setiap lembar tubuhnya seperti mengingat sesuatu yang belum pernah terjadi. Hijaunya bukan tanda hidup, melainkan bukti diam. Tidak harum, tidak menusuk, tidak pula ingin dikenal.
Batu lembap menjadi saksi. Air yang meresap tanpa suara menjadi pelindung. Tak ada yang memanggilnya, tak ada yang menamainya, namun ia tetap tumbuh, meski tak pernah bertambah tinggi.
Daun-daunnya menjulur pelan, seperti tangan yang lupa cara menggenggam. Di sekitarnya, dunia bising berlalu. Asap, logam, jeritan, dan layar-layar yang tak bisa berhenti menatap dirinya sendiri. Tapi di tempat itu, dalam sunyi yang tidak meminta apapun, ia tetap membentang, seperti doa yang tidak pernah selesai.
Dan bila suatu waktu cahaya datang menembus, ia tidak menyambut. Hanya membiarkannya pergi, seperti segala yang datang hanya untuk menghilang.