Ada sesuatu yang begitu sunyi dalam waktu yang berlalu. Menyaksikan hari-hari pecah seperti kaca yang terjatuh, membentuk serpihan yang tak bisa kembali utuh. Bayangan yang dulu menyertai kini terasa asing, sementara langkah-langkah terasa semakin hampa.
Langit retak, pecah dalam tatap
Di sela sunyi yang tak bertepi
Bayang-bayang menggulung napas
Luruh, jatuh, membelah sepi
Tangan menggenggam kosong
Dedaunan basah merintih
Waktu terseret arus
Hilang dalam gelap yang lirih
Jeritkan namamu, tanpa suara!
Hembuskan harap, tanpa udara!
Bumi bergetar, langit membara
Tapi adakah yang tersisa...
Asa mengalir di dinding kaca
Retaknya semakin merambat
Di bawah bayang merah menyala
Sisa jiwa hampir lenyap
Rasa, yang tak lagi, berbentuk!
Terisak di pinggir malam!
Tak ada yang mendengar bisik!
Semua hilang, apakah hilang!
Ranting-ranting patah di ujung hari
Embun beku di sela jemari
Tak ada musim yang benar-benar pergi
Hanya waktu yang terus berlari
Tak ada yang tersisa...
Adakah yang tersisa...
Hanya serpihan
Hanya bayang
Hanya debu
Hanya harap di ujung retak...
Bukan sekadar rangkaian kata, tetapi sebuah gema dari suara yang tertahan, jeritan tanpa suara, harapan yang melayang tanpa udara. Tentang sesuatu yang tak terlihat, tetapi bisa dirasakan; sesuatu yang mungkin tak terdefinisi, tetapi begitu nyata, pertanyaan tentang apa yang tersisa setelah segalanya runtuh.
Perasaan yang bertabrakan antara kehilangan, kehancuran, dan harapan yang samar. Bukan hanya gambaran visual, tetapi juga metafora tentang realitas yang tidak lagi utuh, sebuah dunia yang semakin sulit dipahami. Waktu yang “terseret arus” menegaskan bahwa kita semua hanyut dalam sesuatu yang tak bisa kita kendalikan.
Ada keputusasaan di sini, tetapi juga perlawanan. Sebuah upaya untuk berbicara meskipun tak ada yang mendengar, untuk berharap meskipun tak ada udara yang bisa membawa harapan itu melayang. Ini adalah gambaran tentang keterasingan yang semakin pekat, seolah dunia menutup telinga terhadap keberadaan kita.
Kaca yang retak adalah simbol ketidakpastian dan kehancuran yang perlahan merayap. Tidak ada kehancuran yang terjadi seketika; semuanya bermula dari retakan kecil, yang perlahan menyebar hingga tak bisa diperbaiki lagi. Seperti rasa yang kehilangan bentuknya, identitas diri pun mungkin mulai kabur.
Musim datang dan pergi, tetapi mereka tidak benar-benar lenyap. Mereka hanya berubah, berganti wujud, seperti kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. Namun, waktu? Ia tidak pernah berhenti. Ia terus berlari, meninggalkan kita di antara reruntuhan yang harus kita terima.
Bukan hanya pertanyaan tentang kehilangan sesuatu yang nyata, tetapi juga tentang eksistensi itu sendiri. Ketika segalanya retak dan tercerai-berai, apakah masih ada sesuatu yang bertahan? Atau, pada akhirnya, kita semua hanya menjadi serpihan yang larut dalam waktu, debu yang beterbangan di antara harapan dan kehampaan ?