Ada saat di mana langit melahirkan cahaya dengan desahan pertama, mengiris gelap yang mengakar, merontokkan sisa sunyi yang tertinggal di tepi malam. Cahaya itu bukan sekadar terang yang menyingkap bayang, tetapi juga getar yang meresap ke dalam ingatan, membangunkan ruh-ruh yang lama tertidur dalam selimut waktu. Ia datang bukan untuk sekadar hadir, tetapi untuk merayakan. Maka, sebelum cahaya pertama merayap ke dalam pori-pori bumi, biarkan kata-kata ini menjadi bisikan pagi yang menuntun kehangatan ke dalam dada.
Ranting Pagi - Runtahgila
Menggigil
Menampung embun
Menyisakan dingin dalam uratnya
Menunggu matahari menjahit hangat
Ada cahaya yang lahir dari luka langit
Menetes di pinggir cakrawala
Menjadi benang merah yang menjahit kelam
Digulung oleh angin, dikoyak ombak
Bergetar di ujung embun
Serpihan waktu terlepas dari genggam malam
Berhamburan seperti serbuk api
Membakar sisa mimpi yang belum selesai
Menelanjangi bayang-bayang
Hingga warna-warna mulai bicara
Di tubuh lautan, cahaya itu menggeliat
Memahat gelombang dengan pisau berpendar
Ia membelah kesunyian
Memanggil burung-burung dari lipatan malam
Membuka kelopak dunia dengan bisikan halus
Tiang-tiang sunyi yang tertancap dalam pekat
Satu per satu rebah oleh terang
Gelap yang dulu merayap di pelataran
Mundur tanpa kata-kata
Seperti kisah lama yang kehilangan suara
Dinding-dinding batu menyimpan sisa sinar
Menjadi urat-urat merah muda
Menyerupai nadi yang kembali berdetak
Luka yang pernah tertulis di tebing
Perlahan luruh
Dihapus tangan cahaya yang lembut
Ada yang bangun dalam sunyi
Dengan mata dipenuhi sisa bintang
Menatap bias warna yang merambat
Menyentuh pucuk dedaunan
Mengusir sisa malam dari sela ranting
Bumi menggeliat
Menyambut lembutnya denting pagi
Sebuah lembaran baru terbuka
Ditulis dengan tinta jingga kemerahan
Yang hanya bisa dibaca oleh mereka
Yang masih percaya pada cahaya
Membacanya rasanya seperti berdiri di tepi waktu, di antara sisa gelap yang masih bergelantung dan pijar pertama yang mulai menjalar. Ada perasaan seperti menahan napas sebelum embusan pertama pagi menyentuh wajah, seolah-olah terang adalah sesuatu yang mesti disambut dengan diam yang penuh penghormatan. Cahaya dalam puisi ini bukan hanya hadir untuk menerangi, tetapi untuk menghapus luka, meluruhkan yang pernah mengakar dalam malam, dan memberi isyarat bahwa setiap pagi adalah kesempatan untuk menulis ulang kisah yang sempat retak.
Ranting bukan sekadar bagian dari pohon, tetapi simbol dari sesuatu yang tipis, mungkin rapuh, namun tetap bertahan. Ia menjadi saksi malam yang surut, tempat di mana embun terakhir berpijak sebelum menguap bersama hangatnya cahaya. Cahaya pagi, bukan hanya terang yang mengusir kelam, tetapi juga kehadiran yang membentuk ulang dunia dengan kehalusan yang nyaris tak terdengar.
Ada kehangatan dalam kedinginan, ada bisikan dalam tiap warna, ada ruang bagi siapa saja yang ingin memahami bahwa terang bukan sekadar mengusir gelap, tetapi membentuk jejak baru bagi perjalanan yang masih terus berlanjut. Dan sungguh, bagi mereka yang masih percaya pada cahaya, pagi adalah bahasa yang bisa dibaca dengan mata hati. Sebuah kitab yang terbuka, menanti untuk diisi dengan makna.