Eksplorasi Tanpa Definisi | Runtahgila

Sunyi di Ujung Pancaroba

Sepanjang hari, awan-awan menggantung rendah, menutupi langit dengan kelabu yang tebal, hampir berat. Udara terasa ganjil, tak lagi panas, namun belum juga dingin. Bumi di bawahnya seperti bernapas perlahan, terkurung dalam jeda, seolah menanti dengan ragu.

        Di ujung jalan setapak, di antara semak yang mulai kering, terdapat pohon-pohon yang meranggas, melepaskan satu demi satu daunnya. Setiap lembar yang jatuh seperti sebuah kenangan yang dilepaskan perlahan, melayang di udara sebelum mendarat di tanah. Dalam sunyi yang mengambang, terdengar desah angin yang bertiup lembut, seperti ingin membisikan sesuatu pada mereka yang masih bertahan, pada ranting-ranting yang mulai kurus dan terdedah.

        Pada pagi yang hampir tak terasa hangat, embun masih menempel pada rerumputan yang membungkuk. Tetapi embun itu sekejap menghilang, seperti setiap tetesnya mendadak ragu untuk bertahan. Tanah sedikit merekah, bercampur debu dan sisa-sisa hujan yang sudah lama berlalu, menunggu tanpa kepastian kapan butir air berikutnya akan turun.

        Di tengah keheningan itu, udara memanggil aroma yang samar-samar, seperti bau hujan yang tersangkut di udara. Namun, bukan hujan yang datang, melainkan embusan angin yang dinginnya tak cukup untuk membekukan, tetapi cukup untuk membuat setiap makhluk di sekitarnya menarik napas, memejamkan mata, merasakan sebuah perubahan yang tak terkatakan. Setiap embusan membawa rindu yang ganjil, seolah-olah musim sendiri tak mampu memutuskan: terus bertahan dalam hangat atau perlahan melangkah ke dingin.

        Sore menjelang dengan lambat, tetapi matahari hanya sempat mengintip malu-malu di antara gumpalan awan, memberikan cahaya yang samar, hampir tidak tampak. Saat senja akhirnya datang, ia tidak hadir sebagai perpisahan, tetapi sebagai perpanjangan dari sebuah penantian, seperti sebuah pesan yang terlontar tanpa kata.

        Dalam percakapan sunyi ini, burung-burung pun tampak enggan berkicau. Hanya suara gesekan ranting dan daun yang terdengar samar, dibawa angin entah ke mana. Di kejauhan, pohon jambu muda berbuah, tetapi setiap buahnya tampak lesu, menunggu ketidakpastian dengan kulit yang menipis, menandai sisa-sisa musim yang belum berubah sepenuhnya.

        Satu per satu, daun-daun kering gugur, berbisik pada tanah yang mulai dingin. Ada keikhlasan dalam jatuhnya, seperti sebuah pertanda bahwa musim telah tiba untuk berubah, meskipun belum sepenuhnya siap. Langit yang kelabu, angin yang berat, dan bumi yang mulai menutup diri dari segala sentuhan, semuanya terikat dalam percakapan panjang tanpa suara, tanpa tanda yang jelas.

        Pada masa pancaroba ini, segalanya menjadi abu-abu, tidak sepenuhnya hidup, namun tidak pula mati. Seperti sebuah masa jeda di mana harapan dan kenangan bersinggungan, di mana setiap desah angin seakan menunda kedatangan musim berikutnya. Di balik ranting-ranting yang menua, ada janji yang tersimpan: janji tentang hujan pertama yang akan membasahi tanah, yang akan membawa aroma basahnya ke udara, menandai bahwa segala yang tertunda akhirnya akan datang, tetapi kapan, hanya angin yang tahu.

        Hening di ujung pancaroba, kisah yang tak pernah utuh, yang terus berbisik, menyusup ke dalam hati setiap yang mendengarnya, mengajak mereka untuk merenungi keabadian dalam perubahan.



Serpihan acak merayap di batas logika dan absurditas, paradoks pencatat kata, menggugat batas nalar dan rasa, eksplorasi tanpa definisi. Tanpa janji bahagia, juga bukan putus asa. Tak perlu jawaban, …

Post a Comment

runtahgila Welcome to WhatsApp
Howdy ?
Type here...