Eksplorasi Tanpa Definisi | Runtahgila

Prioritas

"Berhala institusional," tidak hanya mengikis hubungan sosial dan keluarga tapi juga menabrak nilai, menjauhkan individu dari harmoni ilahiah

Prioritas

Pengantar: Perjalanan Menemukan Poros Prioritas

Di tengah labirin kehidupan, kita sering terjebak dalam kerancuan prioritas. Seperti pelaut tanpa kompas, arah hidup kita berbelok-belok, terhantam badai kepentingan duniawi. Namun, ada sebuah tatanan kosmis yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, poros yang jika ditempatkan di hati, akan menyelaraskan perjalanan hidup dengan hukum-hukum langit. Dalam tatanan itu, Allah berada di puncak prioritas, diikuti Nabi sebagai pembimbing, dan pemimpin sebagai penjaga harmoni duniawi.

Namun, memahami prioritas ini bukan sekadar mengenal istilah. Ia adalah perjalanan batiniah yang mengikis ego, menyelaraskan akal dengan wahyu, dan menempatkan kehendak Allah sebagai muara segala usaha. Kita tidak hanya diminta untuk memprioritaskan, tetapi juga mengerti makna keberadaan, posisi kita dalam hubungan vertikal dengan Tuhan, dan horizontal dengan sesama.

Prioritas: Poros Kehidupan yang Menentukan Arah

Prioritas adalah kompas batin yang memandu setiap langkah kita. Ia adalah seni memilih mana yang pantas didahulukan, mana yang harus menunggu, dan mana yang cukup dibiarkan berlalu. Dalam hiruk-pikuk dunia yang penuh distraksi, prioritas adalah penjaga fokus, pengingat arah, dan penjaga batas antara yang penting dan yang sia-sia. Ia bukan sekadar daftar tugas, tetapi cerminan keyakinan, nilai, dan tujuan hidup seseorang.

Seperti seorang pemahat yang dengan sabar mengukir batu menjadi patung, manusia memahat hidupnya berdasarkan apa yang ia tempatkan di atas segalanya. Jika prioritasnya duniawi, maka ia menjadi budak ambisi. Jika prioritasnya ilahiah, maka ia menjadi manusia yang menemukan hakikat dirinya: seorang hamba yang berjalan menuju cahaya.

Skala Prioritas: Harmoni dalam Pilihan

Skala prioritas adalah sistem penataan, hierarki yang memberi ruang bagi semua hal untuk berada di tempat yang seharusnya. Ia seperti orkestra, di mana setiap instrumen memiliki perannya masing-masing, tetapi harus dimainkan dalam urutan yang benar agar menghasilkan harmoni. Dalam hidup, skala prioritas menentukan mana yang harus dipenuhi dulu: kewajiban kepada Allah, tanggung jawab kepada keluarga, kewajiban sosial, hingga tuntutan pribadi. Namun, skala ini sering kali kabur ketika nafsu mengambil alih. Ketika hal kecil menjadi besar, dan yang besar diperkecil. 

 

Ketaatan kepada Allah, Rasul, dan Pemimpin

Ayat ini berasal dari Surah An-Nisa (4:59), yang artinya :

 "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu."

Ayat ini memiliki banyak tafsir, namun secara umum mengajarkan pentingnya ketaatan kepada:

  1. Allah sebagai sumber utama hukum dan pedoman hidup.
  2. Rasul sebagai penyampai wahyu dan teladan praktis dalam menjalankan perintah Allah.
  3. Ulil amri yang merujuk kepada pemimpin atau pihak berwenang dalam masyarakat, selama mereka memerintah sesuai dengan ajaran Islam.

Taatilah Allah, sang Pemilik segala arketipe semesta, yang mengukir setiap simpul takdir dalam peta realitas. Ikutilah Rasul-Nya, pengemban wahyu yang melahirkan dunia dari kegelapan wacana ke hamparan makna. Dan hormatilah mereka yang memegang urusan di antara kalian, yang (dalam kecacatan manusianya) berdiri sebagai penjaga tatanan dari keruntuhan. Ingat, ini bukan tentang penyerahan buta. Ini adalah simfoni logika dan keimanan, di mana ketaatan bukan perbudakan, tetapi bentuk tertinggi dari kesadaran atas harmoni kosmis yang diatur oleh-Nya.

Allah: Puncak Segala Prioritas

Allah bukan hanya pencipta, tetapi juga tujuan akhir dari segala kehidupan. Ketika seorang hamba menempatkan Allah di puncak prioritasnya, ia tak hanya berbicara tentang ibadah ritual, melainkan seluruh tindakan dan niat yang berakar pada keridhaan-Nya. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Ayat ini tidak hanya tentang rukuk dan sujud, melainkan juga bagaimana seluruh dimensi kehidupan diarahkan kepada-Nya.

Namun, di dunia yang penuh godaan ini, menempatkan Allah di atas segalanya bukan perkara mudah. Ambisi, keinginan, dan keserakahan sering kali membutakan manusia. Pada saat itu, pengingat ilahiah berupa ujian hadir untuk mengembalikan fokus. Setiap kesulitan adalah alarm spiritual yang berbunyi lantang: Adakah Allah masih prioritasmu? Ketika kita menjawab “iya” dengan tulus, maka segala kesulitan menjadi ringan, sebab kita sadar bahwa kehendak-Nya adalah yang terbaik.

 

Nabi: Cahaya di Jalan Prioritas

Sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad SAW bukan hanya pembawa wahyu, tetapi juga teladan hidup yang nyata. Ia adalah manifestasi dari bagaimana seorang manusia dapat memprioritaskan Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Melalui sunnahnya, Nabi mengajarkan keseimbangan: bagaimana mendekatkan diri kepada Allah tanpa melupakan tanggung jawab kepada keluarga, masyarakat, dan dunia.

Mengikuti Nabi berarti lebih dari sekadar membaca hadits dan menghafal sunnah. Itu berarti menyerap nilai-nilai universal yang ia bawa, seperti keadilan, kasih sayang, dan kesederhanaan. Nabi tidak hanya mengajarkan prioritas vertikal, tetapi juga horizontal. Bagaimana ia memimpin umat, memperlakukan sahabat, bahkan merespons musuhnya adalah pelajaran abadi tentang bagaimana prioritas kepada Allah diwujudkan dalam hubungan manusia.

 

Pemimpin: Jembatan antara Langit dan Bumi

Dalam kehidupan bermasyarakat, pemimpin memiliki peran sebagai penyeimbang antara hukum langit dan kebutuhan duniawi. Pemimpin yang baik adalah mereka yang memprioritaskan Allah dalam setiap keputusan yang diambilnya, menjadikan wahyu sebagai panduan, dan sunnah Nabi sebagai tolok ukur kebijakannya. Mereka bukan sekadar administrator, melainkan penjaga amanah umat.

Namun, kenyataan hari ini sering kali jauh dari ideal. Banyak pemimpin yang tersesat dalam jeratan kekuasaan, menempatkan ambisi pribadi di atas kepentingan umat. Di sinilah pentingnya umat yang cerdas dan kritis, yang mampu menilai apakah seorang pemimpin benar-benar membawa mereka lebih dekat kepada Allah dan Rasul-Nya atau justru menjauhkan. Karena, sebagaimana sabda Nabi, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Pemimpin organisasi, baik dalam lembaga keagamaan, sosial, atau profesional, memegang tanggung jawab unik yang melibatkan harmoni antara berbagai kepentingan. Dalam kerangka prioritas ilahiah, seorang pemimpin organisasi harus mampu memposisikan Allah sebagai poros utama dalam setiap keputusan, sambil menjaga keseimbangan antara kepentingan umat, keluarga, dan masyarakat. Tidak mudah memang, tetapi di sinilah letak ujian bagi mereka yang diberikan amanah ini.

Seorang pemimpin organisasi yang berorientasi pada Allah tidak hanya berbicara soal visi dan misi duniawi. Ia sadar bahwa setiap langkahnya adalah bagian dari ibadah. Dalam menghadapi dilema, seperti memilih antara keberlanjutan program sosial dan kebutuhan keluarga, seorang pemimpin harus kembali pada prinsip tauhid: Allah adalah pemilik segala solusi. Ia akan mengupayakan keadilan yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi membawa manfaat menyeluruh, tanpa mengorbankan tanggung jawab yang lebih besar.

Dalam tataran sosial, seorang pemimpin organisasi adalah poros yang menggerakkan roda kolektifitas. Ia harus peka terhadap kebutuhan umat yang dipimpinnya, menyelaraskan aspirasi individu dengan tujuan bersama. Namun, di sisi lain, ia juga harus mampu menjaga stabilitas internal dirinya: keluarga sebagai basis moral dan sosialnya. Ketika seorang pemimpin mampu mengintegrasikan semua ini dalam kerangka prioritas yang benar, ia tidak hanya memimpin organisasi, tetapi juga memberikan teladan hidup.

Di sinilah letak seni kepemimpinan: bagaimana seorang individu menjadi jembatan antara berbagai kepentingan tanpa kehilangan arah. Kepemimpinan semacam ini tidak hanya menghasilkan prestasi organisasi, tetapi juga melahirkan keberkahan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena, sejatinya, kepemimpinan yang baik adalah yang mampu menghubungkan manusia dengan Allah melalui manfaat yang ia tebarkan di dunia.

 

Prioritas: Sebuah Renungan

Menempatkan Allah, Nabi, dan pemimpin dalam urutan prioritas yang tepat adalah tugas setiap individu muslim. Ini bukan sekadar konsep abstrak, melainkan pedoman hidup yang nyata. Ketika prioritas ini dijaga, lahirlah harmoni antara langit dan bumi, antara jiwa dan raga, antara individu dan masyarakat.

Mengorbankan Hak atas Nama Kepentingan

Di bawah bayangan kepemimpinan yang menyimpang, terkadang seorang pemimpin mengangkat dirinya atau lembaga yang dipimpinnya sebagai pusat semesta, melupakan bahwa ia hanyalah bagian kecil dari orbit yang lebih besar. Ketika seorang pemimpin memaksa anggota atau karyawan untuk mengutamakan lembaga, bahkan dirinya, di atas tanggung jawab sosial, keluarga, atau tamu, ia telah menabrak tatanan prioritas yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Memprioritaskan lembaga, pengajian, atau bahkan kepentingan pribadi atas nama "amanah" memang terdengar mulia di permukaan. Namun, ketika prioritas ini dipaksakan, tanpa mempertimbangkan hak dan kewajiban anggota, itu bukan lagi kepemimpinan, melainkan bentuk tirani berkedok spiritualitas. Dalam Islam, kewajiban kepada keluarga dan masyarakat adalah bagian integral dari ibadah. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah sosok yang menjaga keseimbangan antara tanggung jawabnya kepada umat dan perannya sebagai kepala keluarga. Ketika seorang pemimpin mengabaikan hal ini, ia sebenarnya sedang menciptakan keretakan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Pemimpin seperti ini lupa bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan alat kontrol. Dalam mendorong karyawan untuk meninggalkan tamu atau keluarga demi menghadiri acara lembaga, ia telah memprioritaskan ego kelembagaannya di atas tuntunan wahyu. Allah berfirman dalam Al-Qur'an, “Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.” (QS. Al Maidah :8). Jika kebencian saja bisa mengaburkan keadilan, maka bagaimana dengan ambisi yang menyamar sebagai visi?

“Pemimpin yang bijak tidak memaksakan kehendak, tetapi menginspirasi. Ia memahami bahwa setiap individu memiliki kewajiban yang berlapis: kepada Allah, keluarga, masyarakat, dan baru kemudian kepada lembaga. Jika lembaga mengklaim diri sebagai alat untuk mendekatkan manusia kepada Allah, maka ia seharusnya memperkuat, bukan melemahkan kewajiban-kewajiban lain. Karena lembaga hanyalah sarana, sementara prioritas kepada keluarga dan sosial adalah tujuan yang inheren dalam syariat.”

Kesimpulannya sederhana: pemimpin yang memaksa adalah pemimpin yang lupa akan batasannya. Lembaga tidak lebih besar dari keluarga, dan dirinya tidak lebih tinggi dari nilai-nilai yang ia klaim wakili. Ketika pemimpin seperti ini memaksa anggotanya meninggalkan hakikat kewajiban, ia tidak sedang memimpin; ia sedang memaksa orang lain membangun "berhala baru" atas nama dirinya atau lembaga. Sebuah kesalahan fatal dalam hierarki prioritas yang seharusnya mencerminkan ketundukan kepada Allah, bukan kepada manusia atau institusi.

 

Penutup: Merajut Kehidupan di Atas Prioritas

Kehidupan ini adalah perjalanan menuju Allah. Nabi adalah peta yang membimbing, dan pemimpin adalah nahkoda yang mengarahkan kapal agar tidak karam. Menempatkan mereka dalam urutan prioritas yang tepat adalah bentuk ketaatan yang akan membawa kita pada kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun akhirat.

Kita tidak sempurna, tetapi dalam setiap usaha untuk menyelaraskan hidup dengan prioritas ini, kita sedang membangun harmoni, menciptakan simfoni antara langit dan bumi. Mari renungkan, apakah prioritas kita sudah benar? Jika belum, sekarang adalah waktu terbaik untuk memperbaikinya. Karena, sebagaimana waktu yang terus berjalan, hidup ini pun memiliki batasnya.

"Berhala institusional" menggambarkan situasi di mana lembaga atau kepemimpinan menjadi pusat pemujaan berlebihan, mengikis hubungan sosial dan keluarga, serta menabrak nilai-nilai moral, hingga menjauhkan individu dari harmoni ilahiah yang seharusnya menjadi prioritas utama.

 


Serpihan acak merayap di batas logika dan absurditas, paradoks pencatat kata, menggugat batas nalar dan rasa, eksplorasi tanpa definisi. Tanpa janji bahagia, juga bukan putus asa. Tak perlu jawaban, …

2 comments

  1. 1. *Adab Menyambut Tamu*: Dalam Islam, menyambut tamu dengan baik adalah bentuk penghormatan dan menunjukkan akhlak yang baik. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya." (HR. Bukhari dan Muslim).

    2. *Kewajiban terhadap Keluarga*: Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah tanggung jawab utama setiap individu. Menjaga hubungan baik dan memenuhi hak-hak keluarga adalah bagian dari keimanan. Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku." (HR. Tirmidzi).

  2. Jika seseorang menyepelekan atau mengabaikan keluarga dan tamu, itu bisa menunjukkan kekurangan dalam memahami nilai-nilai Islam yang sebenarnya.
runtahgila Welcome to WhatsApp
Howdy ?
Type here...