Eksplorasi Tanpa Definisi | Runtahgila

Perbedaan Santri, Siswa, Tulab, dan Murid dalam Tradisi Pendidikan

Perjalanan historis dan filosofi Santri, Siswa, Tulab, dan Murid, menggali makna dan konteks pendidikan dari masa ke masa.

Santri, Siswa, Tulab, dan Murid dalam Tradisi Pendidikan

        Santri, siswa, tulab, dan murid. Kata-kata ini sering dilepeh-lepeh kayak kacang goreng, padahal maknanya segendut jagat. Kalau kita tarik akar kata, gali artinya, ulik istilahnya, sampai kita muntah-muntah baca kitab atau tanya orang tua, semuanya punya lintasan cerita sendiri. Ini bukan sekadar siapa lahir duluan, tapi juga kenapa bisa jadi identitas yang beda-beda. Santri, siswa, tulab, dan murid itu nggak muncul tiba-tiba. Ada sejarah yang melahirkan, membesarkan, bahkan memelintir maknanya.

Santri

Santri itu produk khas Nusantara. Awalnya, istilah ini muncul bersamaan dengan berkembangnya pesantren di Jawa. Pesantren sendiri itu warisan Walisongo, yang nyiptain model pendidikan berbasis Islam tapi tetap akrab dengan budaya lokal. Jadi kalau lihat santri main rebana sambil nyanyi tembang Jawa, ya itu udah bagian dari sejarahnya.

Pesantren pertama yang tercatat itu didirikan sekitar abad ke-15-16, waktu Islam mulai masuk ke Jawa lewat jalur dagang. Sistemnya mirip pondok-pondok Buddha atau Hindu di zaman sebelumnya. Makanya, meskipun isinya ngajarin Al-Qur'an dan kitab-kitab Islam, struktur pesantren ini tetap nyerap budaya lokal.

Yang unik, santri dulu nggak cuma belajar agama. Mereka belajar tani, dagang, bahkan bela diri. Ingat cerita pendekar yang ngaji ke kiai sambil belajar jurus? Ya, itu gambaran santri zaman dulu. Dan jangan lupakan peran mereka di perjuangan: banyak kiai dan santri yang angkat senjata waktu penjajahan.

Santri itu paling gampang kita temuin di pesantren. Kalau ada orang pakai sarung, bawa kitab kuning, nongkrong di bawah pohon jambu, itu dia: santri. Kata "santri" katanya sih dari bahasa Sanskerta, "shastri", orang yang belajar kitab suci. Tapi kalau di Indonesia, santri ya spesifik banget: anak pesantren. Dia bukan sekadar belajar, dia juga digembleng. Pagi ngaji, siang nyangkul, malam hapalin nazham (puisi-puisi kuno).


            Ada istilah lagi buat santri: santri kalong. Ini yang cuma datang pas ngaji malam, habis itu balik tidur di rumah. Ada juga santri mukim, yang tinggal di pesantren full time. Santri itu hidupnya lekat sama kiai, sama tradisi, sama disiplin yang nggerus ego.

Siswa

            Nah, kalau siswa ini beda habitat. Dia di sekolah formal, yang gurunya berdiri depan kelas, bawa spidol, terus nerangin pelajaran sesuai kurikulum. Kata "siswa" sendiri dari bahasa Sanskerta juga, "sisya", yang artinya murid. Tapi konotasinya lebih netral, lebih administratif, kayak cap di rapor.

            Siswa nggak ada ritual spesial kayak santri. Paling pol ikut upacara bendera atau OSIS. Tapi jangan salah, siswa juga kadang belajar filsafat secara nggak sadar, misalnya pas nyontek pas ujian: “Apa nilai sejati dari kejujuran di tengah tekanan sistem?”

            "Siswa" muncul lebih formal, terkait dengan perkembangan sistem pendidikan modern di Hindia Belanda. Dulu, Belanda bikin sekolah buat anak-anak priyayi, namanya sekolah rakyat. Sistemnya pakai kurikulum Barat, dengan pembagian mata pelajaran yang rapi, dari matematika sampai sejarah Eropa.

            Di era itu, istilah siswa mulai digunakan sebagai pengganti istilah tradisional macam murid atau santri, karena lebih cocok dengan format pendidikan kolonial. Siswa di sini identitas yang seragam: belajar dari buku, diajar oleh guru, dan dinilai lewat ujian tertulis. Nggak ada ngaji malam-malam atau hidup bareng guru kayak di pesantren.

            Revolusi besar-besaran buat siswa terjadi setelah kemerdekaan Indonesia. Pendidikan jadi hak semua orang, nggak cuma priyayi. Siswa meluas jadi siapa aja yang masuk sekolah formal, dari SD sampai SMA. Jadi, sejarah siswa itu erat banget sama modernisasi dan birokrasi pendidikan.

 

Tulab

            Tulab itu jamaknya thalib, dari bahasa Arab. Maknanya: pencari. Tapi yang dicari bukan harta, melainkan ilmu. Biasanya istilah ini dipakai buat pelajar di perguruan tinggi Islam, terutama di Timur Tengah. Tulab itu kedengaran elit, kayak label buat mereka yang ngendon di Universitas Al-Azhar, misalnya.

            Tulab nggak cuma belajar baca kitab, tapi juga debat tentang pemikiran para ulama. Tulab itu kayak santri versi internasional, dengan wawasan lebih luas karena kena racun filsafat Yunani yang diislamkan. Tapi ya gitu, tulab kadang terlalu sibuk sama kitab tebal, sampai lupa cari nasi bungkus.

            Tulab punya cerita yang lebih global. Istilah ini lahir dari tradisi Islam klasik. Waktu Islam berkembang di abad ke-8 sampai 13, pusat-pusat ilmu macam Baghdad, Kairo, dan Andalusia jadi magnet buat orang-orang yang haus ilmu. Di situlah muncul istilah thalib al-ilm (pencari ilmu), yang jadi cikal bakal "tulab."

            Tulab ini bukan cuma belajar agama, tapi juga filsafat, matematika, kedokteran, astronomi, bahkan musik. Mereka belajar di madrasah atau universitas Islam pertama macam Al-Qarawiyyin di Fez atau Baitul Hikmah di Baghdad. Tulab punya pola belajar yang beda dari santri atau siswa: lebih akademik, dengan sistem debat, penelitian, dan karya tulis.

            Istilah tulab makin populer di Nusantara pas awal abad ke-20, waktu para pemuda Muslim dikirim belajar ke Timur Tengah. Mereka bawa pulang tradisi akademik Islam global, plus istilah-istilah kayak tulab yang akhirnya dipakai buat pelajar di lembaga-lembaga Islam modern.

Murid

            Nah, murid ini yang paling fleksibel. Kata “murid” juga dari bahasa Arab, "murid", yang artinya orang yang ingin. Murid itu ya siapa aja yang punya hasrat buat belajar, nggak peduli tempatnya di mana. Bisa di sekolah, pesantren, surau, atau malah di bawah pohon kelapa.
Kalau di pesantren, murid bisa jadi santri. Di sekolah, dia jadi siswa. Di universitas Islam, dia jadi tulab. Tapi kalau murid dalam konteks tasawuf, dia itu pengikut tarekat yang ingin mendekat ke Allah. Gurunya disebut mursyid, dan perjalanan belajarnya nggak cuma ilmu dunia, tapi juga ilmu hati.

            Murid ini yang paling tua, soalnya konsepnya universal. Dari zaman sebelum ada agama formal, manusia udah belajar dari orang lain. Istilah "murid" baru jadi spesifik pas Islam datang, terutama dalam tradisi tasawuf. Di situ, murid bukan cuma pelajar biasa, tapi pencari kebenaran sejati, yang bimbingannya langsung dari mursyid (guru spiritual).

            Di luar tasawuf, murid berkembang jadi istilah umum buat siapa aja yang belajar. Dalam sejarah Nusantara, istilah murid udah dipakai jauh sebelum sistem pendidikan formal. Di surau-surau Minangkabau atau padepokan di Jawa, murid itu anak-anak yang diajar oleh guru lokal tentang agama, budaya, atau keterampilan hidup.

            Setelah Belanda masuk, istilah murid mulai disaingi oleh "siswa" di sekolah formal, tapi murid tetap hidup di pendidikan nonformal. Jadi, sejarah murid ini panjang banget: dari tasawuf, tradisi lokal, sampai sekolah-sekolah modern.

Kesimpulan Acak

            Masing-masing lahir di konteks sosial dan politik yang beda, tapi semuanya punya tujuan sama: mencari ilmu. Santri itu sarung, siswa itu seragam, tulab itu peci, murid itu bebas. Santri punya aroma tradisi, siswa cenderung birokratis, tulab lebih akademis, murid itu liar kayak angin. Semua ini cuma casing, yang penting esensinya: belajar. Tapi belajar yang beneran, bukan sekadar nyerap kata-kata, tapi ngerti maknanya, jalanin hidupnya, dan, kalau perlu, ngubah dunianya.

 


Serpihan acak merayap di batas logika dan absurditas, paradoks pencatat kata, menggugat batas nalar dan rasa, eksplorasi tanpa definisi. Tanpa janji bahagia, juga bukan putus asa. Tak perlu jawaban, …

Post a Comment

runtahgila Welcome to WhatsApp
Howdy ?
Type here...