Waktu, yang dulu berlari seperti sungai di lembah tenang, kini berubah menjadi badai yang melintasi lembah, gunung, dan samudra. Dalam riuhnya perubahan, tak ada yang tetap, kecuali tarian debu yang mengisi kekosongan.
Perubahan ini bukan sekadar angin baru; ia adalah kilatan petir yang membelah langit. Teknologi seperti roda tanpa poros, meluncur tanpa henti, menghubungkan pikiran dengan algoritma, dan membangun kota di awan digital. Tangan manusia, yang dulu menggenggam pena, kini menggenggam layar, segala ilmu, segala emosi, dan segala ilusi berkumpul dalam genggaman kecil itu.
Namun, seberapa cepat roda ini berputar, jejak-jejak lama tak sepenuhnya hilang. Di bawah megahnya pencakar langit, ada aroma buku tua yang terselip di sudut-sudut sunyi. Sejarah berbisik dari dalam lemari museum, mengingatkan bahwa meski masa depan datang dengan gemerlap, kita adalah anak-anak masa lalu.
Manusia pun tertantang. Dulu, ruang berpikir memiliki jeda, waktu untuk menimbang. Kini, arus informasi datang seperti gelombang tsunami, menenggelamkan logika, meninggalkan kita dengan perasaan-perasaan mentah. Kita berpacu dengan waktu yang tak lagi sabar, berusaha menciptakan makna di tengah kekacauan.
Lalu, apa yang hilang dalam kecepatan ini? Barangkali, seni menikmati detik-detik yang berjalan perlahan. Seperti secangkir teh yang mendingin pelan, atau bunyi langkah kaki di jalan berdebu. Kecepatan membawa kita ke tempat-tempat baru, tetapi sering lupa mengajari kita bagaimana berhenti dan memandang.
Di ujung renungan ini, mungkin pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah “Seberapa cepat kita harus berlari?” melainkan “Apa yang ingin kita bawa di perjalanan ini?” Dunia berubah lebih cepat, tetapi hati, meski gemetar, masih punya hak untuk memilih jalan mana yang ingin ia tapaki.